Wednesday, April 24, 2013

Dua Potongan Kecil - Bagian ketiga


 
Potongan ke tiga

San Rafael. Central Havana, Cuba. 16 Maret 2009 – 14.00_
            Suasana saat itu terlihat lengang pada sebuah kediaman mewah yang terletak di tengah kota Havana, ibu kota sekaligus kota terbesar di Cuba. Hari itu adalah pertama kalinya hujan turun di Cuba pada tahun ini. Hujan yang deras baru saja mengguyur Havana. Musim hujan kali ini datang agak terburu-buru, maklum beberapa tahun belakangan siklus iklim dan cuaca di Cuba tidak menentu. Pergantian musim pun mengalami pergeseran di sana. Hujan itu telah reda, namun gerimisnya masih menyisakan rintik-rintik air. Keadaan tenang dan damai terhampar di sana walau tak sebanding dengan penjagaan ekstra ketat yang dapat terlihat di setiap sudut sebuah kediaman mewah di jalan San Rafael, sebuah bangunan yang sangat mewah di sisi tak terjamah kota itu.

Tempat yang lebih terlihat seperti palace itu tampak dijaga oleh sejumlah orang pria berpenampilan rapih. Beberapa di antara mereka terus berjalan berkeliling mengawasi keadaan sekitar. Yang lainnya terpatung di beberapa titik yang mungkin dianggap vital di tempat tersebut. Di gerbang masuk terdapat pos penjagaan, tak jauh dari sana seorang pria berkulit gelap berdiri dengan sebuah rantai terikat pada tangan kanannya. Ikatan yang lain terkalung pada leher seekor anjing Doberman dengan tinggi sekitar 70 cm. Penampilan pria itu terlihat sangar bersama seekor anjing besar berwarna hitam legam dengan sedikit motif bulu berwarna cokelat di wajah yang berdiri kokoh di sebelahnya. Doberman itu menoleh ke arah pintu gerbang yang sedang di buka oleh seorang penjaga, lalu menggonggong menyambut kedatangan sebuah limousine putih yang tampaknya sudah tak asing lagi baginya.
            Seorang pria menghampiri limousine yang berhenti tepat di depan teras pintu utama. Pria tadi membukakan pintu belakang mobil bagian kanan, lalu empat pria lain yang belum mendapatkan peran bersiap-siap di depan pintu untuk menyambut seseorang yang akan keluar dari mobil dan memasuki rumah. Jika dilihat dari perlakuan para ‘ajudan’ nya itu, pastilah orang ini merupakan seseorang yang istimewa; sangat istimewa tepatnya.
            Sepatu kulit berwarna cokelat mengkilap lebih dulu terlihat menjulur keluar dari dalam mobil menapaki paving block, kemudian disusul oleh kaki sebelah kirinya. Kini tampak jelaslah siapa orang istimewa tersebut; seorang pria gagah di balik setelan jas putihnya, memakai kemeja biru tua bergaris, dan kacamata hitam berlensa tipis. Kharisma orang ini benar-benar memancar pada orang-orang di sekitarnya. Ia melepas kacamatanya, lalu dengan sigap pria yang tadi membukakan pintu segera mengambil kacamata itu dari sang pemilik. Setelah itu ia melepaskan jas putihnya, dan lagi-lagi tanpa komando si ajudan tadi mengambil dan membawakan jas dan kacamata itu.
            Orang tersebut berjalan menuju pintu masuk dengan penuh wibawa. Ketika ia sudah di depan pintu masuk, keempat pria yang sedari tadi telah bersiap menyambut itu berjejer rapih. Lalu dengan setengah menundukkan kepala, secara hampir bersamaan mereka memberi salam,
            “Selamat datang tuan Fidel.”
Orang itu menjawab salam mereka hanya dengan senyuman. Sebuah senyuman layaknya auman singa, sangat berwibawa! Ya, sangat berwibawa sebagai tuan besar dan pemimpin mereka.
Lelaki bernama Fidel itu terus berjalan menyusuri ruang tengah yang luas, lalu berbelok ke kanan menaiki tangga, melewati dua ekor harimau Afrika yang telah di-air keras berdiri kokoh di kedua sisi anak tangga paling bawah. Seluruh lantai di dalam bangunan itu di lapisi karpet mewah. Dinding-dinding pada setiap ruang banyak di hiasi berbagai ornament antik. Tempat itu benar-benar seperti istana megah.
            Ia kini telah berada di ruangan pribadinya. Ia duduk santai di depan perapian yang tidak menyala karena suhu pada saat itu belum dirasa terlalu dingin di sana. Di atas kursi mewahnya yang empuk itu, secangkir Daiquiri di atas meja menemani saat bersantai Fidel yang baru saja tiba dari perjalanan jauh yang melelahkan.
            Untuk masalah tembakau, orang Cuba sangat mengenal baik rasa dan selera. Rokok jarang di konsumsi di sana, orang-orang Cuba lebih menyukai cerutu yang memiliki ukuran lebih besar dari rokok biasa. Tembakau tumbuh dan di tanam di beberapa wilayah Cuba, salah satu tempat penghasil tembakau terbaik yaitu Vueltabajo plantations yang terletak di provinsi Pinar del Río. Tidak ada keraguan sama sekali bahwa tembakau dan cerutu terbaik di dunia lahir dari tempat tersebut. Pohon tembakau di sana berkualitas tinggi, dan untuk bercocok tanam tembakau memerlukan teknik serta pengalaman yang baik. Para petani tembakau di Cuba memiliki semua itu.
            Fidel membuka sebuah kotak kecil di atas meja yang tersanding di sisi kiri tempat ia duduk. Kotak cerutu berwarna kulit pohon cemara dengan seutas pita merah melingkar itu terlihat sangat elegant. Kemasan cerutu biasanya menentukan kualitas cerutu itu sendiri, itu sebabnya kita bisa menebak kualitas cerutu di lihat dari label dan kemasan luarnya. Cerutu Cuba selalu di sajikan dengan cincin atau pita yang melingkar, dan sebuah simbol lithographic sebagai label yang ikut juga menentukan kualitas cerutu tersebut.
            Vistas, sebagai nilai seni dari cita rasa tembakau, merupakan helaian daun yang di letakkan bersama dengan lima batang cerutu di dalam kotak. Itu di maksudkan untuk menjaga cita rasa ketika kotak telah dibuka. Fidel menyingkirkan vistas dengan jari telunjuknya terlebih dahulu sebelum ia mengeluarkan sebatang cerutu dari kotak, lalu membakar cerutu tersebut dengan menggunakan sebuah pematik api khusus.
            Kenikmatan yang sempurna terlihat saat kepulan asap cerutu menyembul dari mulut dan hidung Fidel. Ia memejamkan matanya, merebahkan posisi duduknya ke belakang mencopot dua biji kancing teratas kemejanya, lalu menghisap cerutu itu lagi, menghembuskan asapnya perlahan, lagi dan lagi. Sesekali ia meraih cangkir di atas meja dan meneguk minuman tersebut. Suasana saat itu sangat tenang dan nyaman. Fidel baru saja kembali setelah empat bulan terakhir berada di Rio de Jenario. Ia sangat merindukan negaranya, cerutu dan Rum khas ala Cuba.
            Di luar ruang pribadi Fidel, dua orang pria berpakaian rapih berdiri berjaga-jaga tepat di depan pintu. Keduanya bersenjata. Salah seorang dari mereka membawa M-16, satu nya lagi menggunakan pistol terselip di pinggang. Penjagaan seperti itu sangat kontras dengan suasana di dalam ruangan yang tenang dan damai.
            Dua jam berselang dari kedamaian di dalam ruangan pribadi Fidel, muncul seorang pria bertubuh tinggi besar berjalan sedikit tergesa-gesa. Orang ini berpenampilan garang dengan berbagai artibut terpasang di tubuhnya. Tattoo melingkar hampir di seluruh tubuh kekarnya, dan yang paling ekstrim adalah pada bagian wajah sebelah kiri. Sebuah tattoo bermotif gothic terpampang di wajah bagian kiri melintas dari pipi ke atas alis. Itu masih belum cukup, kedua telinga lelaki ini terpasang anting perak antik dengan bandul cincin kecil berwarna hitam. Dan jika ia sedang bicara, maka akan terlihat kilauan piercing barbell yang terpasang di lidah. Siapa saja yang melihat pria ini, maka dapat di tebak kalau orang semacam dia tidak akan takut pada siapapun. Dan jika memang ada orang yang ia segani di dunia ini, maka satu-satunya orang itu adalah Fidel Leos Echalas, tuannya!
            Kulitnya coklat legam, rambutnya cepak dua sentimeter diwarnai merah tembaga. Jika di lihat sepintas, wajah dan tampang orang ini mirip dengan bintang basket Amerika­; Dennis Rodmann, namun ukuran tubuh pria ini bisa mencapai dua kali lipatnya!
            Pria ini hanya mengacuhkan kedua orang penjaga di depan pintu ruang pribadi Fidel, lalu mengetuk pintu tiga kali, sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan terseebut.
            “Maaf mengganggu tuan, ada berita penting yang ingin saya sampaikan.” Pria itu berkata sambil menundukkan kepala pada Fidel yang masih duduk membelakanginya.
            “Silahkan.” Fidel menjawab sambil memutar posisi duduknya menghadap orang itu.
            Pria itu baru berani menegakkan kepala setelah Fidel mempersilahkannya bicara. “Baru saja saya mendapat info dari Italia. Mereka ingin mengenal kualitas kita dan menyetujui diadakan transaksi secepatnya. Selanjutnya mereka menunggu kepastian dari kita untuk bernegoisasi.”
            Fidel tersenyum senang mendengar kabar tersebut, “Hmmm... Jika negoisasi berjalan lancar maka dapat di pastikan mereka akan memakai kita seterusnya. Sejauh ini kerjamu sangat baik Huaman! ”
            “Tentu saja tuan. Baiknya perlu kita siapkan orang unggulan kita dalam hal ini.”
            Great deal, great man! Juan Lopez! Dimana dia sekarang? ” Fidel sangat bersemangat.
            “Selama hampir satu bulan ini dia berada di Paris tuan, meng-handle langsung bisnis kita di sana.” Pria bernama Huaman itu menjawab dengan sangat hati-hati.
            “Hubungi dia secepatnya! Suruh menemuiku segera.” Perintah Fidel.
            “Segera saya laksanakan tuan.” Tentunya tidak ada alasan bagi Huaman untuk membantah apapun yang di perintahkan Fidel.
            “Baiklah Huaman, kau bisa meninggalkan ruangan ini sekarang.”
            “Baik tuan.” Huaman menundukkan kepalanya, simbol permohonan dirinya meninggalkan ruangan Fidel.
            Senyum dingin terlintas di wajah Fidel selepas kepergian Huaman.


****


Gare du Nord - Paris, Perancis. 24 Februari 2009, 04.05 pm_
            Sesosok mayat laki-laki di temukan di stasiun kereta api bawah tanah Gare du Nord. Pria malang yang belakangan di ketahui sebagai warga negara Italia ini telah duduk terkulai lemas di sebuah kursi tunggu stasiun. Ia sudah tak bernyawa lagi ketika tim forensic tiba di lokasi kejadian. Polisi yang menangani mendapati sebuah suntikan di leher mayat itu sebagai penyebab kematiannya.
            Kejadian itu menarik perhatian para pengunjung stasiun yang langsung berkerumun memadati lokasi di temukannya mayat, beberapa di antaranya adalah wartawan. Bagaimana tidak, lelaki yang di duga kuat adalah korban pembunuhan itu tewas di tengah padatnya pengunjung stasiun tanpa di ketahui kapan ia di bunuh. Pelakunya tak meninggalkan jejak apapun kecuali bekas suntikan di leher korban. Petugas keamanan dan polisi bekerjasama mengamankan TKP, memasang police line di sana-sini, lalu mengevakuasi korban.
            Berbeda dari petugas yang telah tiba di tempat itu, dua orang lelaki mengenakan jas panjang datang lebih terlambat, mereka melihat-lihat keadaan sekeliling, lalu membaur dengan polisi-polisi di situ.
            “Kami CIA, siapa identitas mayat itu?” salah satu dari mereka bertanya pada seorang petugas keamanan setempat sambil menunjukkan lencana pengenal. Sementara pria yang satunya lagi sibuk mengamati situasi sambil mencatat beberapa hal pada sebuah buku catatan kecil yang ia pegang.
            “Sementara ini di ketahui sebagai warga negara Italia. Selebihnya tim kami akan segera menyelidikinya.” Polisi Perancis itu terlihat sungkan menjawab pertanyaan pria tersebut. Di benak polisi itu CIA selalu ingin tahu, atau tepatnya selalu ikut campur. Mereka seolah memandang sebelah mata kinerja pihak keamanan lokal yang di anggap tidak becus dalam bekerja. Di mulai dengan mencampuri urusan di wilayah negara lain, penyelidikan illegal yang mereka sebut pengawasan intelligent, ujung-ujungnya adalah sabotase kasus demi kepentingan tertentu mereka. Itulah CIA.
            “Apa penyebab kematian pria itu?” selalu ada pertanyaan selanjutnya.
            “Sebuah suntikan di leher. Di duga racun kimia level-A, hanya itu yang di tinggalkan si pelaku.”
            Pria tadi berpikir sejenak, mengernyitkan dahi, lalu meneruskan berbicara.
            “CCTV, hanya itu yang bisa mengantarkan kita pada si pelaku. Nanti malam saya akan ke kantor, tolong siapkan identitas mayat dan semua rekaman kamera CCTV di stasiun ini. Terima kasih.” Setelah itu pria tadi bersama kawannya berlalu meninggalkan tempat tersebut. Sabotase itu telah di mulai.


Paris, Perancis. 24 Februari 2009, 06.45_
            Kedua pria CIA yang tadi berada di stasiun Gare du Nord tersebut kini tengah duduk berhadapan di sebuah meja kecil restoran di pusat kota Paris. Wajah mereka terlihat tegang dan sangat serius. Salah seorang di antara mereka berbicara mendahului rekannya.
            ”Apa analisamu Lev?” Tanya pria tersebut sambil menyeruput kopi hitam di atas meja.
            “Cerdas dan berani. Paling tidak itu gambaran sementara pelaku pembunuhan itu. Bagaimana menurutmu, Hansen?” Pria yang bernama lengkap Quennel Leveque itu menjawab dengan mantap.
            “Bukankah sepak terjang orang ini selalu seperti itu? Matang dan penuh perhitungan.” Ia menambahi.
            “Persis, kali ini ia membuktikan pada kita kepiawaian-nya.” Lev menyalakan rokok.
            “Sama seperti ketika di Munich?”
            “Kurang lebih seperti itu. Kerjanya sangat cepat dan efisien!” pernyataan Lev semakin mantap.
“Lalu, teorimu?” Hansen semakin penasaran. Ia tahu betul bahwa rekannya tersebut selalu memiliki daya nalar yang brilian.
“Dengan jumlah penumpang sekitar 180 miliar orang per tahun, Gare du Nord merupakan stasiun kereta api bawah tanah tersibuk di Eropa, dan ketiga di dunia setelah Shinjuku Station dan Ikebukuro Station di Tokyo. Tentu saja ini bukan pilihan tempat yang baik untuk melancarkan aksi pembunuhan. Tetapi si pelaku justru menggunakannya untuk bergerak cepat dan menghilang dengan sempurna.” Lev menerangkan.
Hansen menyipitkan matanya, mempertajam pandangannya pada Lev, ia sibuk memikirkan banyak kemungkinan yang bisa terjadi pada saat pembunuhan tersebut berlangsung. Belum sempat ia berbicara, Lev sudah mendahuluinya.
“Pola pergerakan kelompok ini sudah jelas. Korban-korbannya di jebak untuk bertransaksi, lokasinya di tempat-tempat keramaian umum. Selalu ada bekas injeksi, dan potongan bungkus cokelat di lokasi pembunuhan. Kalau dua hal yang terakhir adalah sisi subjektif.”
“Maksudmu pelaku pembunuhan berantai itu hanya seorang?” Hansen semakin terkurung dalam teori Lev.
“Pasti! Tujuan kelompok ini adalah perebutan kekuasaan wilayah dagang, pelaksana misi nya adalah seorang utusan terbaik, pria lihai yang selama ini kita buru. Kelompok ini sangat terorganisir dengan baik, dan pria tadi sangat terlatih di dalamnya.”
“Ok-ok. Simpan dulu analisamu. Setelah kita dapat datanya nanti, kita lihat siapa sebenarnya pria ulung di balik pelenyapan berantai para sindikat narkotika itu.” Hansen meneguk habis minumannya.         


Central Police Department-Paris, Perancis. 08.40 pm.
            Lev dan Hansen baru saja tiba di gedung Central Police Department. Kedua orang ini bermaksud memburu data tentang kasus pembunuhan seorang warga Negara Italia di Gare du Nord tadi sore. Mereka langsung menuju ruangan kepala deputi kriminal untuk menulusuri lebih lanjut tentang fakta-fakta yang tengah mereka cari. Setelah di persilahkan oleh seorang anggota polisi disitu, Lev dan Hansen masuk ke dalam ruangan tersebut.
            “Selamat malam,” sapa Frank William selaku kepala deputi kriminal kepolisian Paris sambil berjabatan tangan.
            “Malam, saya Hansen, dan ini Lev rekan saya. Seperti yang telah anda ketahui, kami berdua membutuhkan beberapa data hasil investigasi kepolisian Perancis tentang korban pembunuhan sore tadi untuk kepentingan intelligent,” Hansen berbicara dengan nada congkak dan memburu. Ya, kepentingan intelligent. Selalu itu yang menjadi alasan mereka dalam mencampuri urusan di wilayah negara lain.
            “Ya, saya telah menerima laporannya. Silahkan di minum tuan-tuan.” Seorang office boy mengantarkan dua buah gelas berisi air mineral pada kedua tamu di kantor itu.
            “Terima kasih.” Hansen menjawab dengan ketus. Segelas air mineral di hadapannya tentu saja bukanlah hal penting. Di benaknya hanya terpikir mencari data-data yang mereka butuhkan. Dan sikap William mudah sekali terbaca oleh Hansen. Itu hanya untuk memperlambat tempo permainan mereka saja. Hansen sangat membenci pekerjaan yang lambat.
            “Sudah sampai di mana tahap investigasi kepolisian Paris?” Lev berkata ramah mencairkan suasana tegang mereka. Lev lebih berperangai sopan daripada Hansen. Walaupun tujuan mereka sama-­­­ yaitu penyerobotan kasus, tapi ia lebih bisa menempatkan sikap yang baik di depan orang lain.
            “Semua data sudah kami temukan di TKP. Dan kini tim kami sedang memproses lebih lanjut,” jelas William.
            “Lalu apa dugaan sementara motif pembunuhan tersebut?” Hansen menambahi.
            “Nanti akan dijelaskan detailnya oleh anggota saya.”
            “Saya pikir rekaman CCTV akan banyak memberitahu kita tentang gambaran kejadiannya.” Sejak awal Lev memang sudah memiliki analisa tersendiri tentang CCTV di stasiun.
            “Ya. Itu juga yang kami beri perhatian khusus. Cara si pembunuh itu sangat terencana dengan rapih. Semuanya sudah di perhitungkan dengan sangat matang sejak awal.” William lebih tertarik mengomentari perkataan Lev ketimbang Hansen.
            Beberapa saat kemudian pintu ruangan terketuk, lalu seorang wanita masuk.
            “Semua laporan telah disiapkan pak,” seru wanita kulit putih berambut ikal sebahu yang baru saja masuk itu sambil membawa beberapa berkas yang tertata rapih di dalam map berwarna merah.
            “Silahkan, kedua kawan kita ini sudah menunggu sejak tadi,” jawab William.
            Lev dan Hansen tetap dingin tak menghiraukan perkataan William tadi. Bagi mereka, kalimat basa-basi yang menjilat tersebut sama sekali tidak penting untuk di respon. Sejak awal mereka memang hanya fokus dan tertarik pada penjelasan yang akan mereka terima saja.
            Wanita itu memulai presentasinya dengan menyalakan projector yang sudah disiapkan di sisi kiri ruangan.
            “Baiklah tuan-tuan, mari kita mulai. Sebelumnya perkenalkan, saya Norah Jane, wakil kepala badan analisa kriminal kepolisian Perancis.” Lev dan Hansen mulai memberi perhatian seksama. Terutama Lev, dia sangat senang dengan wanita cerdas yang tidak bertele-tele.
            “Korban telah berhasil kami identifikasi. Seorang warga negara Italia bernama Mickey Porello. Usianya 40 tahun, pria ini telah lama menjadi buronan Interpol dan kepolisian Italia atas sejumlah kasus perdagangan opium.” Jane menampilkan slide berisi foto dan biodata Porello di layar.
            “Kapan terakhir kali pria ini muncul di perancis sebelum terbunuh?” pertanyaan pertama muncul dari Hansen.
            “Dua hari sebelum ia tewas,” jawab Jane singkat. “Paspor, nomor rekening bank, dan sejumlah data penting lainnya telah kami lacak sebulan sebelumnya,” tambahnya.
            “Silahkan lanjutkan,” Lev tak sabar mendengarkan penjelasan selanjutnya. Fakta itu tak terlalu penting baginya, karena ia sudah selangkah lebih dulu dari kepolisian Perancis dalam mengantongi data-data mengenai Porello.
            “Barang bukti di tempat lokasi adalah sebuah jarum suntik yang masih tertancap di leher korban. Jarum berisi racun kimia kelas A itu merupakan alat pembunuhan yang dipakai oleh pelaku. Cukup efektif dilakukan ditengah-tengah keramaian sarana umum.”
            “Lalu bagaimana cara si pelaku menancapkan jarum itu?” rasa penasaran Hansen selalu tak terbendung. Sedangkan Lev dan William tetap terdiam serius mendengarkan.
            “Sederhana. Ia memancing korbannya untuk duduk bersebelahan dengannya. Tempat duduk dan segala sesuatunya telah ia persiapkan sebelumnya, termasuk sikap korban yang sejak datang berpura-pura membaca koran adalah setting-an si pelaku. Setelah itu mereka melakukan pembicaraan sebentar, bertukar koper dengan si korban, lalu mengakhiri pembicaraan dengan melingkarkan tangannya ke belakang bahu korban…”


            “Apa respon korban terhadap sikap si pembunuh itu?” Hansen buru-buru memotong penjelasan Jane dengan pertanyaan penuh rasa penasaran.
“Hal ini akan di maklumi si korban, dengan tujuan menunjukkan kesan bahwa mereka akrab jika diperhatikan oleh orang-orang sekitar. Lalu dengan tiba-tiba sebuah alat suntik sudah berada dalam genggaman si pelaku. Tanpa bisa dihindari lagi, pelaku menancapkan jarum suntik pada leher kiri korban. Dalam hitungan detik mangsanya tewas sambil tersandar di kursi, dan ia berlalu tanpa ada satu orang pun yang tahu bahwa Porello telah mati terbunuh.” Penjelasan Jane berhenti di situ.
“Lalu CCTV?” Lev mulai bicara. Sejak awal ia menyimpan perhatian khusus pada kamera CCTV di stasiun.
“Bagian ini yang menarik, pembunuh itu telah merencanakan aksinya dengan sangat matang. Seluruh kamera CCTV di stasiun telah disadap. Hanya satu kamera yang dapat bekerja pada saat pembunuhan itu terjadi, sisanya mati. Beberapa menit sebelum ia datang, seorang hacker telah mematikan sistem kerja kamera CCTV di stasiun.”
            Wajah Lev tampak berkeringat dingin. Sementara Hansen, tanpa ia sadari meneguk air minum di meja sampai hampir habis, lalu bertanya dengan nada suara rendah,
            “Mengapa tak seluruh kamera mati? Mengapa ia sisakan satu masih menyala?”
            “Kami tak mengerti persisnya, mungkin karena keamanan kamera tersebut tak bisa ditembus.”
“Pembunuh itu meninggalkan pesan peringatan pada kepolisian…..” Suara Lev sangat dingin
Semua orang di ruangan itu terkejut mendengar apa yang Lev ucapkan. Dan belum saja ekspresi terkejut itu sirna dari wajah orang-orang tersebut, Lev kembali meneruskan bicara,
“Pembunuh itu bisa mematikan seluruh CCTV di stasiun kalau saja dia mau. Ia sengaja menyisakan satu sebagai tayangan yang akan dimaksudkan untuk memberi peringatan pada polisi. Kalau begitu, bisakah kami lihat rekaman gambar dari kamera tersebut?”
“Baiklah, mari kita lihat bersama,” Jane mengambil sebuah kaset video, kemudian memutar kaset itu dan menampilkan gambarnya pada layar projector.
Semua orang di ruangan tersebut mengamati dengan seksama. Mereka sangat fokus, tak berkedip sekalipun. Diantara orang-orang itu Lev lah yang paling terlihat teliti mengamati tayangan video di hadapannya.
Tayangan itu bermula dengan gambar suasana hiruk pikuk stasiun Gare du Nord dari sebuah sudut yang terekam oleh salah satu kamera CCTV. Dari sudut ini, pandangan kamera terbatas hanya pada sebagian wilayah kecil stasiun. Beberapa detik setelah itu, seorang pria dengan membawa sebuah koper hitam dan mengenakan kemeja hijau lengan panjang yang tergulung hingga ke siku datang dari arah berlawanan dengan kamera. Ia menengok ke segala penjuru stasiun, terlihat seperti mencari seseorang sambil beberapa kali menoleh pada arloji emas di lengan kanan-nya, lalu duduk di sebuah kursi tunggu kemudian membuka sebuah koran dan seolah membacanya. Posisi kursi itu membelakangi kamera.
Tayangan itu segera di-pause,
“Pria ini adalah si korban, Mickey Porello.” Jane menerangkan sambil menunjuk wajah Porello dengan laser pointer.
“Tolong di-zoom di bagian itu!” Hansen bereaksi cepat.
Setelah beberapa saat mengamati wajah Porello, tayangan itu pun diteruskan kembali. Sejenak waktu berselang, seorang pria lain datang menghampiri Porello. Kali ini dari arah kamera CCTV. Wajah pria itu tak tertangkap oleh kamera, yang terlihat hanya postur tubuhnya yang sedang, penampilan rapih, rambut klimis yang tertata rapih, mengenakan jas hitam, kacamata hitam, dan membawa koper hitam juga. itu saja.
Tayangan itu di-pause lagi,
“Yang ini adalah si pembunuh,” Jane kembali menerangkan, namun kali ini tak ada reaksi apapun dari orang-orang di ruangan tersebut. Hanya ekspresi tegang yang tersemat di wajah mereka.
Tayangan pun diteruskan kembali. Si pembunuh tadi langsung duduk tepat di sebelah kanan Porello. Mereka berdua terlibat obrolan tak sampai lima menit, kemudian bertukar koper. Si pembunuh lalu melingkarkan tangan kirinya ke belakang pundak Porello, posisi ini bertahan sampai beberapa saat. Setelah itu speaker pemancar suara berbunyi, kereta pun datang. Para calon penumpang berhamburan dari kursi tunggu menghampiri kereta, begitu pun si pembunuh itu. Hanya Porello yang tetap duduk di tempat semula.
“Stop sampai disitu!” suara Lev memecah keheningan. “Putar kembali dalam mode slow motion mulai dari mereka bertukar koper!” ia meneruskan.
 Tayangan pun di-rewind, diputar kembali dalam slow motion mulai dari Porello bertukar koper dengan si pembunuh. Dalam tayangan lambat ini, pengawasan Lev dan orang-orang di ruangan tersebut semakin detail. Adegan sesaat sebelum si pembunuh itu beranjak dari kursi itu pun mulai. Dari tayangan normal, ia hanya tampak berlalu begitu saja. Namun pada tayangan lambat ini terkuaklah apa yang sebenarnya terjadi. Ketika suara speaker bergemuruh, si pembunuh mengeluarkan sebuah alat suntik berukuran kecil dari dalam lengan jasnya. Berbarengan dengan kedatangan kereta, ia menyuntikkan alat itu tepat di leher bagian kiri Porello. Saat itu perhatian seluruh orang tertuju pada kereta. Waktu yang tepat untuk melumpuhkan korban. Ia berdiri meninggalkan Porello yang sudah tak bernyawa lagi dalam posisi duduk tersandar, lalu membaur bersama-sama para penumpang lain menuju kereta, dan menghilang dengan sempurna.
Semua orang tercengang menyaksikan rekaman kamera CCTV yang baru saja diputar, tak terkecuali Lev. Kini jelaslah sudah bagaimana cara si pembunuh itu melumpuhkan mangsanya.
Saat polisi menyadari Porello terbunuh, kereta yang ditumpangi si pembunuh itu telah tiba di stasiun pemberhentian kedelapan yang merupakan tempat pemberhentian terakhir kereta tersebut. Itu artinya ada delapan kemungkinan pembunuh itu berhenti dimana. Terlalu banyak kemungkinan. Sudah terlambat untuk melacak posisi akhir si pembunuh setelah aksinya kali itu. Semuanya sudah terlambat. Porello telah tewas, pembunuh itu telah menghilang dengan sempurna. Tak ada bukti tertinggal selain jasad Porello yang sudah tak bernyawa lagi, sebuah jarum suntik yang masih tertancap di leher Porello. Tak ada wajah pelaku dan tak ada saksi.
Hanya satu yang luput dari perhatian polisi Paris, bungkus cokelat yang sengaja di tinggalkan pelaku di tempat kejadian.







***

0 komentar:

Post a Comment