Potongan ke tiga
San Rafael. Central Havana, Cuba.
16 Maret 2009 – 14.00_
Suasana
saat itu terlihat lengang pada sebuah kediaman mewah yang terletak di tengah
kota Havana, ibu kota sekaligus kota
terbesar di Cuba. Hari itu adalah
pertama kalinya hujan turun di Cuba pada
tahun ini. Hujan yang deras baru saja
mengguyur Havana. Musim hujan kali
ini datang agak terburu-buru, maklum beberapa tahun belakangan siklus iklim dan
cuaca di Cuba tidak menentu.
Pergantian musim pun mengalami pergeseran di sana. Hujan itu telah reda, namun
gerimisnya masih menyisakan rintik-rintik air. Keadaan tenang dan damai
terhampar di sana walau tak sebanding dengan penjagaan ekstra ketat yang dapat
terlihat di setiap sudut sebuah kediaman mewah di jalan San Rafael, sebuah bangunan yang sangat mewah di sisi tak terjamah
kota itu.
Tempat yang lebih terlihat seperti palace itu tampak dijaga oleh sejumlah orang pria berpenampilan rapih. Beberapa di antara mereka terus berjalan berkeliling mengawasi keadaan sekitar. Yang lainnya terpatung di beberapa titik yang mungkin dianggap vital di tempat tersebut. Di gerbang masuk terdapat pos penjagaan, tak jauh dari sana seorang pria berkulit gelap berdiri dengan sebuah rantai terikat pada tangan kanannya. Ikatan yang lain terkalung pada leher seekor anjing Doberman dengan tinggi sekitar 70 cm. Penampilan pria itu terlihat sangar bersama seekor anjing besar berwarna hitam legam dengan sedikit motif bulu berwarna cokelat di wajah yang berdiri kokoh di sebelahnya. Doberman itu menoleh ke arah pintu gerbang yang sedang di buka oleh seorang penjaga, lalu menggonggong menyambut kedatangan sebuah limousine putih yang tampaknya sudah tak asing lagi baginya.
Seorang pria menghampiri limousine yang berhenti tepat di depan
teras pintu utama. Pria tadi membukakan pintu belakang mobil bagian kanan, lalu
empat pria lain yang belum mendapatkan peran bersiap-siap di depan pintu untuk
menyambut seseorang yang akan keluar dari mobil dan memasuki rumah. Jika dilihat
dari perlakuan para ‘ajudan’ nya itu, pastilah orang ini merupakan seseorang
yang istimewa; sangat istimewa tepatnya.
Sepatu kulit berwarna cokelat
mengkilap lebih dulu terlihat menjulur keluar dari dalam mobil menapaki paving block, kemudian disusul oleh kaki
sebelah kirinya. Kini tampak jelaslah siapa orang istimewa tersebut; seorang
pria gagah di balik setelan jas putihnya, memakai kemeja biru tua bergaris, dan
kacamata hitam berlensa tipis. Kharisma orang ini benar-benar memancar pada
orang-orang di sekitarnya. Ia melepas kacamatanya, lalu dengan sigap pria yang
tadi membukakan pintu segera mengambil kacamata itu dari sang pemilik. Setelah
itu ia melepaskan jas putihnya, dan lagi-lagi tanpa komando si ajudan tadi
mengambil dan membawakan jas dan kacamata itu.
Orang tersebut berjalan menuju pintu
masuk dengan penuh wibawa. Ketika ia sudah di depan pintu masuk, keempat pria
yang sedari tadi telah bersiap menyambut itu berjejer rapih. Lalu dengan
setengah menundukkan kepala, secara hampir bersamaan mereka memberi salam,
“Selamat datang tuan Fidel.”
Orang
itu menjawab salam mereka hanya dengan senyuman. Sebuah senyuman layaknya auman
singa, sangat berwibawa! Ya, sangat berwibawa sebagai tuan besar dan pemimpin
mereka.
Lelaki
bernama Fidel itu terus berjalan menyusuri ruang tengah yang luas, lalu
berbelok ke kanan menaiki tangga, melewati dua ekor harimau Afrika yang telah
di-air keras berdiri kokoh di kedua sisi anak tangga paling bawah. Seluruh
lantai di dalam bangunan itu di lapisi karpet mewah. Dinding-dinding pada
setiap ruang banyak di hiasi berbagai ornament
antik. Tempat itu benar-benar seperti istana megah.
Ia kini telah berada di ruangan
pribadinya. Ia duduk santai di depan perapian yang tidak menyala karena suhu
pada saat itu belum dirasa terlalu dingin di sana. Di atas kursi mewahnya yang
empuk itu, secangkir Daiquiri di atas
meja menemani saat bersantai Fidel yang baru saja tiba dari perjalanan jauh
yang melelahkan.
Untuk masalah tembakau, orang Cuba sangat mengenal baik rasa dan
selera. Rokok jarang di konsumsi di sana, orang-orang Cuba lebih menyukai cerutu yang memiliki ukuran lebih besar dari
rokok biasa. Tembakau tumbuh dan di tanam di beberapa wilayah Cuba, salah satu tempat penghasil
tembakau terbaik yaitu Vueltabajo
plantations yang terletak di provinsi Pinar
del Río. Tidak ada keraguan sama sekali bahwa tembakau dan cerutu terbaik
di dunia lahir dari tempat tersebut. Pohon tembakau di sana berkualitas tinggi,
dan untuk bercocok tanam tembakau memerlukan teknik serta pengalaman yang baik.
Para petani tembakau di Cuba memiliki
semua itu.
Fidel membuka sebuah kotak kecil di atas
meja yang tersanding di sisi kiri tempat ia duduk. Kotak cerutu berwarna kulit
pohon cemara dengan seutas pita merah melingkar itu terlihat sangat elegant. Kemasan cerutu biasanya
menentukan kualitas cerutu itu sendiri, itu sebabnya kita bisa menebak kualitas
cerutu di lihat dari label dan kemasan luarnya. Cerutu Cuba selalu di sajikan dengan cincin atau pita yang melingkar, dan
sebuah simbol lithographic sebagai
label yang ikut juga menentukan kualitas cerutu tersebut.
Vistas,
sebagai nilai seni dari cita rasa tembakau, merupakan helaian daun yang di
letakkan bersama dengan lima batang cerutu di dalam kotak. Itu di maksudkan
untuk menjaga cita rasa ketika kotak telah dibuka. Fidel menyingkirkan vistas dengan jari telunjuknya terlebih
dahulu sebelum ia mengeluarkan sebatang cerutu dari kotak, lalu membakar cerutu
tersebut dengan menggunakan sebuah pematik api khusus.
Kenikmatan yang sempurna terlihat
saat kepulan asap cerutu menyembul dari mulut dan hidung Fidel. Ia memejamkan
matanya, merebahkan posisi duduknya ke belakang mencopot dua biji kancing
teratas kemejanya, lalu menghisap cerutu itu lagi, menghembuskan asapnya
perlahan, lagi dan lagi. Sesekali ia meraih cangkir di atas meja dan meneguk
minuman tersebut. Suasana saat itu sangat tenang dan nyaman. Fidel baru saja
kembali setelah empat bulan terakhir berada di Rio de Jenario. Ia sangat merindukan negaranya, cerutu dan Rum khas ala Cuba.
Di luar ruang pribadi Fidel, dua
orang pria berpakaian rapih berdiri berjaga-jaga tepat di depan pintu. Keduanya
bersenjata. Salah seorang dari mereka membawa M-16, satu nya lagi menggunakan pistol terselip di pinggang.
Penjagaan seperti itu sangat kontras dengan suasana di dalam ruangan yang
tenang dan damai.
Dua jam berselang dari kedamaian di
dalam ruangan pribadi Fidel, muncul seorang pria bertubuh tinggi besar berjalan
sedikit tergesa-gesa. Orang ini berpenampilan garang dengan berbagai artibut
terpasang di tubuhnya. Tattoo melingkar
hampir di seluruh tubuh kekarnya, dan yang paling ekstrim adalah pada bagian
wajah sebelah kiri. Sebuah tattoo
bermotif gothic terpampang di wajah
bagian kiri melintas dari pipi ke atas alis. Itu masih belum cukup, kedua
telinga lelaki ini terpasang anting perak antik dengan bandul cincin kecil
berwarna hitam. Dan jika ia sedang bicara, maka akan terlihat kilauan piercing barbell yang terpasang di
lidah. Siapa saja yang melihat pria ini, maka dapat di tebak kalau orang
semacam dia tidak akan takut pada siapapun. Dan jika memang ada orang yang ia
segani di dunia ini, maka satu-satunya orang itu adalah Fidel Leos Echalas,
tuannya!
Kulitnya coklat legam, rambutnya
cepak dua sentimeter diwarnai merah tembaga. Jika di lihat sepintas, wajah dan
tampang orang ini mirip dengan bintang basket Amerika; Dennis Rodmann, namun ukuran tubuh pria ini bisa mencapai dua kali
lipatnya!
Pria ini hanya mengacuhkan kedua
orang penjaga di depan pintu ruang pribadi Fidel, lalu mengetuk pintu tiga
kali, sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan terseebut.
“Maaf mengganggu tuan, ada berita
penting yang ingin saya sampaikan.” Pria itu berkata sambil menundukkan kepala pada
Fidel yang masih duduk membelakanginya.
“Silahkan.” Fidel menjawab sambil
memutar posisi duduknya menghadap orang itu.
Pria itu baru berani menegakkan
kepala setelah Fidel mempersilahkannya bicara. “Baru saja saya mendapat info
dari Italia. Mereka ingin mengenal kualitas kita dan menyetujui diadakan
transaksi secepatnya. Selanjutnya mereka menunggu kepastian dari kita untuk
bernegoisasi.”
Fidel tersenyum senang mendengar
kabar tersebut, “Hmmm... Jika negoisasi berjalan lancar maka dapat di pastikan
mereka akan memakai kita seterusnya. Sejauh ini kerjamu sangat baik Huaman! ”
“Tentu saja tuan. Baiknya perlu kita
siapkan orang unggulan kita dalam hal ini.”
“Great
deal, great man! Juan Lopez! Dimana dia sekarang? ” Fidel sangat bersemangat.
“Selama hampir satu bulan ini dia
berada di Paris tuan, meng-handle
langsung bisnis kita di sana.” Pria bernama Huaman itu menjawab dengan sangat
hati-hati.
“Hubungi dia secepatnya! Suruh
menemuiku segera.” Perintah Fidel.
“Segera saya laksanakan tuan.”
Tentunya tidak ada alasan bagi Huaman untuk membantah apapun yang di
perintahkan Fidel.
“Baiklah Huaman, kau bisa
meninggalkan ruangan ini sekarang.”
“Baik tuan.” Huaman menundukkan
kepalanya, simbol permohonan dirinya meninggalkan ruangan Fidel.
Senyum dingin terlintas di wajah
Fidel selepas kepergian Huaman.
****
Gare
du Nord - Paris,
Perancis. 24 Februari 2009, 04.05 pm_
Sesosok mayat laki-laki di temukan
di stasiun kereta api bawah tanah Gare du
Nord. Pria malang yang belakangan di ketahui sebagai warga negara Italia
ini telah duduk terkulai lemas di sebuah kursi tunggu stasiun. Ia sudah tak
bernyawa lagi ketika tim forensic
tiba di lokasi kejadian. Polisi yang menangani mendapati sebuah suntikan di
leher mayat itu sebagai penyebab kematiannya.
Kejadian itu menarik perhatian para
pengunjung stasiun yang langsung berkerumun memadati lokasi di temukannya mayat,
beberapa di antaranya adalah wartawan. Bagaimana tidak, lelaki yang di duga
kuat adalah korban pembunuhan itu tewas di tengah padatnya pengunjung stasiun
tanpa di ketahui kapan ia di bunuh. Pelakunya tak meninggalkan jejak apapun
kecuali bekas suntikan di leher korban. Petugas keamanan dan polisi bekerjasama
mengamankan TKP, memasang police line
di sana-sini, lalu mengevakuasi korban.
Berbeda dari petugas yang telah tiba
di tempat itu, dua orang lelaki mengenakan jas panjang datang lebih terlambat,
mereka melihat-lihat keadaan sekeliling, lalu membaur dengan polisi-polisi di
situ.
“Kami CIA, siapa identitas mayat itu?”
salah satu dari mereka bertanya pada seorang petugas keamanan setempat sambil
menunjukkan lencana pengenal. Sementara pria yang satunya lagi sibuk mengamati
situasi sambil mencatat beberapa hal pada sebuah buku catatan kecil yang ia
pegang.
“Sementara ini di ketahui sebagai
warga negara Italia. Selebihnya tim kami akan segera menyelidikinya.” Polisi
Perancis itu terlihat sungkan menjawab pertanyaan pria tersebut. Di benak
polisi itu CIA selalu ingin tahu, atau tepatnya selalu ikut campur. Mereka
seolah memandang sebelah mata kinerja pihak keamanan lokal yang di anggap tidak
becus dalam bekerja. Di mulai dengan mencampuri urusan di wilayah negara lain,
penyelidikan illegal yang mereka
sebut pengawasan intelligent,
ujung-ujungnya adalah sabotase kasus demi kepentingan tertentu mereka. Itulah
CIA.
“Apa penyebab kematian pria itu?”
selalu ada pertanyaan selanjutnya.
“Sebuah suntikan di leher. Di duga
racun kimia level-A, hanya itu yang di tinggalkan si pelaku.”
Pria tadi berpikir sejenak, mengernyitkan
dahi, lalu meneruskan berbicara.
“CCTV, hanya itu yang bisa
mengantarkan kita pada si pelaku. Nanti malam saya akan ke kantor, tolong
siapkan identitas mayat dan semua rekaman kamera CCTV di stasiun ini. Terima
kasih.” Setelah itu pria tadi bersama kawannya berlalu meninggalkan tempat
tersebut. Sabotase itu telah di mulai.
Paris, Perancis. 24 Februari 2009,
06.45_
Kedua
pria CIA yang tadi berada di stasiun Gare
du Nord tersebut kini tengah duduk berhadapan di sebuah meja kecil restoran
di pusat kota Paris. Wajah mereka terlihat tegang dan sangat serius. Salah
seorang di antara mereka berbicara mendahului rekannya.
”Apa analisamu Lev?” Tanya pria
tersebut sambil menyeruput kopi hitam di atas meja.
“Cerdas dan berani. Paling tidak itu
gambaran sementara pelaku pembunuhan itu. Bagaimana menurutmu, Hansen?” Pria
yang bernama lengkap Quennel Leveque itu menjawab dengan mantap.
“Bukankah sepak terjang orang ini
selalu seperti itu? Matang dan penuh perhitungan.” Ia menambahi.
“Persis, kali ini ia membuktikan
pada kita kepiawaian-nya.” Lev menyalakan rokok.
“Sama seperti ketika di Munich?”
“Kurang lebih seperti itu. Kerjanya
sangat cepat dan efisien!” pernyataan Lev semakin mantap.
“Lalu,
teorimu?” Hansen semakin penasaran. Ia tahu betul bahwa rekannya tersebut
selalu memiliki daya nalar yang brilian.
“Dengan
jumlah penumpang sekitar 180 miliar orang per tahun, Gare du Nord merupakan stasiun kereta api bawah tanah tersibuk di
Eropa, dan ketiga di dunia setelah Shinjuku Station dan Ikebukuro Station di Tokyo.
Tentu saja ini bukan pilihan tempat yang baik untuk melancarkan aksi
pembunuhan. Tetapi si pelaku justru menggunakannya untuk bergerak cepat dan
menghilang dengan sempurna.” Lev menerangkan.
Hansen menyipitkan matanya,
mempertajam pandangannya pada Lev, ia sibuk memikirkan banyak kemungkinan yang
bisa terjadi pada saat pembunuhan tersebut berlangsung. Belum sempat ia
berbicara, Lev sudah mendahuluinya.
“Pola pergerakan kelompok ini
sudah jelas. Korban-korbannya di jebak untuk bertransaksi, lokasinya di
tempat-tempat keramaian umum. Selalu ada bekas injeksi, dan potongan bungkus
cokelat di lokasi pembunuhan. Kalau dua hal yang terakhir adalah sisi
subjektif.”
“Maksudmu pelaku pembunuhan
berantai itu hanya seorang?” Hansen semakin terkurung dalam teori Lev.
“Pasti! Tujuan kelompok ini
adalah perebutan kekuasaan wilayah dagang, pelaksana misi nya adalah seorang
utusan terbaik, pria lihai yang selama ini kita buru. Kelompok ini sangat
terorganisir dengan baik, dan pria tadi sangat terlatih di dalamnya.”
“Ok-ok.
Simpan dulu analisamu. Setelah kita dapat datanya nanti, kita lihat siapa
sebenarnya pria ulung di balik pelenyapan berantai para sindikat narkotika
itu.” Hansen meneguk habis minumannya.
Central
Police Department-Paris,
Perancis. 08.40 pm.
Lev dan Hansen baru
saja tiba di gedung Central Police
Department. Kedua orang ini bermaksud memburu data tentang kasus pembunuhan
seorang warga Negara Italia di Gare du
Nord tadi sore. Mereka langsung menuju ruangan kepala deputi kriminal untuk
menulusuri lebih lanjut tentang fakta-fakta yang tengah mereka cari. Setelah di
persilahkan oleh seorang anggota polisi disitu, Lev dan Hansen masuk ke dalam
ruangan tersebut.
“Selamat malam,” sapa Frank William
selaku kepala deputi kriminal kepolisian Paris sambil berjabatan tangan.
“Malam, saya Hansen, dan ini Lev
rekan saya. Seperti yang telah anda ketahui, kami berdua membutuhkan beberapa
data hasil investigasi kepolisian Perancis tentang korban pembunuhan sore tadi
untuk kepentingan intelligent,”
Hansen berbicara dengan nada congkak dan memburu. Ya, kepentingan intelligent.
Selalu itu yang menjadi alasan mereka dalam mencampuri urusan di wilayah negara
lain.
“Ya, saya telah menerima laporannya.
Silahkan di minum tuan-tuan.” Seorang office
boy mengantarkan dua buah gelas berisi air mineral pada kedua tamu di
kantor itu.
“Terima kasih.” Hansen menjawab
dengan ketus. Segelas air mineral di hadapannya tentu saja bukanlah hal
penting. Di benaknya hanya terpikir mencari data-data yang mereka butuhkan. Dan
sikap William mudah sekali terbaca oleh Hansen. Itu hanya untuk memperlambat
tempo permainan mereka saja. Hansen sangat membenci pekerjaan yang lambat.
“Sudah sampai di mana tahap
investigasi kepolisian Paris?” Lev berkata ramah mencairkan suasana tegang
mereka. Lev lebih berperangai sopan daripada Hansen. Walaupun tujuan mereka
sama- yaitu penyerobotan kasus, tapi ia lebih bisa menempatkan sikap yang
baik di depan orang lain.
“Semua data sudah kami temukan di
TKP. Dan kini tim kami sedang memproses lebih lanjut,” jelas William.
“Lalu apa dugaan sementara motif
pembunuhan tersebut?” Hansen menambahi.
“Nanti akan dijelaskan detailnya
oleh anggota saya.”
“Saya pikir rekaman CCTV akan banyak
memberitahu kita tentang gambaran kejadiannya.” Sejak awal Lev memang sudah
memiliki analisa tersendiri tentang CCTV di stasiun.
“Ya. Itu juga yang kami beri
perhatian khusus. Cara si pembunuh itu sangat terencana dengan rapih. Semuanya
sudah di perhitungkan dengan sangat matang sejak awal.” William lebih tertarik
mengomentari perkataan Lev ketimbang Hansen.
Beberapa saat kemudian pintu ruangan terketuk, lalu seorang wanita masuk.
“Semua laporan telah
disiapkan pak,”
seru wanita kulit putih berambut ikal sebahu yang baru saja masuk itu sambil
membawa beberapa berkas yang tertata rapih di dalam map berwarna merah.
“Silahkan,
kedua kawan kita ini sudah menunggu sejak tadi,” jawab William.
Lev dan Hansen tetap
dingin tak menghiraukan perkataan William tadi. Bagi mereka, kalimat basa-basi
yang menjilat tersebut sama sekali tidak penting untuk di respon. Sejak awal
mereka memang hanya fokus dan tertarik pada penjelasan yang akan mereka terima
saja.
Wanita
itu memulai presentasinya dengan menyalakan projector
yang sudah disiapkan di sisi kiri ruangan.
“Baiklah tuan-tuan,
mari kita mulai. Sebelumnya perkenalkan, saya Norah Jane, wakil kepala badan
analisa kriminal kepolisian Perancis.” Lev dan Hansen mulai memberi perhatian
seksama. Terutama Lev, dia sangat senang dengan wanita cerdas yang tidak
bertele-tele.
“Korban
telah berhasil kami identifikasi. Seorang warga negara Italia bernama Mickey
Porello. Usianya 40 tahun, pria ini telah lama
menjadi buronan Interpol dan
kepolisian Italia atas sejumlah kasus perdagangan opium.” Jane menampilkan slide berisi foto dan biodata Porello di layar.
“Kapan
terakhir kali pria ini muncul di perancis sebelum terbunuh?” pertanyaan pertama
muncul dari Hansen.
“Dua hari sebelum ia tewas,” jawab Jane singkat. “Paspor, nomor rekening
bank, dan sejumlah data penting lainnya telah kami lacak sebulan
sebelumnya,” tambahnya.
“Silahkan
lanjutkan,” Lev tak sabar mendengarkan penjelasan selanjutnya. Fakta itu tak
terlalu penting baginya, karena ia sudah selangkah lebih dulu dari kepolisian
Perancis dalam mengantongi data-data mengenai Porello.
“Barang
bukti di tempat lokasi adalah sebuah jarum suntik yang masih tertancap di leher
korban. Jarum berisi racun kimia kelas A itu merupakan alat pembunuhan yang
dipakai oleh pelaku. Cukup efektif dilakukan ditengah-tengah keramaian sarana
umum.”
“Lalu
bagaimana cara si pelaku menancapkan jarum itu?” rasa penasaran Hansen selalu
tak terbendung. Sedangkan Lev dan William tetap terdiam serius mendengarkan.
“Sederhana. Ia memancing korbannya
untuk duduk bersebelahan dengannya. Tempat duduk dan segala sesuatunya telah ia
persiapkan sebelumnya, termasuk sikap korban yang sejak datang berpura-pura
membaca koran adalah setting-an si
pelaku. Setelah itu mereka melakukan pembicaraan sebentar, bertukar koper
dengan si korban, lalu mengakhiri pembicaraan dengan melingkarkan tangannya ke
belakang bahu korban…”
“Apa respon korban terhadap sikap si
pembunuh itu?” Hansen buru-buru memotong penjelasan Jane dengan pertanyaan
penuh rasa penasaran.
“Hal
ini akan di maklumi si korban, dengan tujuan menunjukkan kesan bahwa mereka
akrab jika diperhatikan oleh orang-orang sekitar. Lalu dengan tiba-tiba sebuah
alat suntik sudah berada dalam genggaman si pelaku. Tanpa bisa dihindari lagi,
pelaku menancapkan jarum suntik pada leher kiri korban. Dalam hitungan detik
mangsanya tewas sambil tersandar di kursi, dan ia berlalu tanpa ada satu orang
pun yang tahu bahwa Porello telah mati terbunuh.” Penjelasan Jane berhenti di
situ.
“Lalu
CCTV?” Lev mulai bicara. Sejak awal ia menyimpan perhatian khusus pada kamera
CCTV di stasiun.
“Bagian
ini yang menarik, pembunuh itu telah merencanakan aksinya dengan sangat matang.
Seluruh kamera CCTV di stasiun telah disadap. Hanya satu kamera yang dapat
bekerja pada saat pembunuhan itu terjadi, sisanya mati. Beberapa menit sebelum
ia datang, seorang hacker telah
mematikan sistem kerja kamera CCTV di stasiun.”
Wajah Lev tampak berkeringat dingin.
Sementara Hansen, tanpa ia sadari meneguk air minum di meja sampai hampir
habis, lalu bertanya dengan nada suara rendah,
“Mengapa tak seluruh kamera mati?
Mengapa ia sisakan satu masih menyala?”
“Kami tak mengerti persisnya,
mungkin karena keamanan kamera tersebut tak bisa ditembus.”
“Pembunuh
itu meninggalkan pesan peringatan pada kepolisian…..” Suara Lev sangat dingin
Semua
orang di ruangan itu terkejut mendengar apa yang Lev ucapkan. Dan belum saja
ekspresi terkejut itu sirna dari wajah orang-orang tersebut, Lev kembali
meneruskan bicara,
“Pembunuh
itu bisa mematikan seluruh CCTV di stasiun kalau saja dia mau. Ia sengaja
menyisakan satu sebagai tayangan yang akan dimaksudkan untuk memberi peringatan
pada polisi. Kalau begitu, bisakah kami lihat rekaman gambar dari kamera
tersebut?”
“Baiklah,
mari kita lihat bersama,” Jane mengambil sebuah kaset video, kemudian memutar
kaset itu dan menampilkan gambarnya pada layar projector.
Semua
orang di ruangan tersebut mengamati dengan seksama. Mereka sangat fokus, tak
berkedip sekalipun. Diantara orang-orang itu Lev lah yang paling terlihat
teliti mengamati tayangan video di hadapannya.
Tayangan
itu bermula dengan gambar suasana hiruk pikuk stasiun Gare du Nord dari sebuah sudut yang terekam oleh salah satu kamera
CCTV. Dari sudut ini, pandangan kamera terbatas hanya pada sebagian wilayah
kecil stasiun. Beberapa detik setelah itu, seorang pria dengan membawa sebuah
koper hitam dan mengenakan kemeja hijau lengan panjang yang tergulung hingga ke
siku datang dari arah berlawanan dengan kamera. Ia menengok ke segala penjuru
stasiun, terlihat seperti mencari seseorang sambil beberapa kali menoleh pada
arloji emas di lengan kanan-nya, lalu duduk di sebuah kursi tunggu kemudian
membuka sebuah koran dan seolah membacanya. Posisi kursi itu membelakangi kamera.
Tayangan
itu segera di-pause,
“Pria
ini adalah si korban, Mickey Porello.” Jane menerangkan sambil menunjuk wajah
Porello dengan laser pointer.
“Tolong
di-zoom di bagian itu!” Hansen
bereaksi cepat.
Setelah
beberapa saat mengamati wajah Porello, tayangan itu pun diteruskan kembali.
Sejenak waktu berselang, seorang pria lain datang menghampiri Porello. Kali ini
dari arah kamera CCTV. Wajah pria itu tak tertangkap oleh kamera, yang terlihat
hanya postur tubuhnya yang sedang, penampilan rapih, rambut klimis yang tertata
rapih, mengenakan jas hitam, kacamata hitam, dan membawa koper hitam juga. itu
saja.
Tayangan
itu di-pause lagi,
“Yang
ini adalah si pembunuh,” Jane kembali menerangkan, namun kali ini tak ada
reaksi apapun dari orang-orang di ruangan tersebut. Hanya ekspresi tegang yang
tersemat di wajah mereka.
Tayangan
pun diteruskan kembali. Si pembunuh tadi langsung duduk tepat di sebelah kanan Porello.
Mereka berdua terlibat obrolan tak sampai lima menit, kemudian bertukar koper.
Si pembunuh lalu melingkarkan tangan kirinya ke belakang pundak Porello, posisi
ini bertahan sampai beberapa saat. Setelah itu speaker pemancar suara berbunyi, kereta pun datang. Para calon
penumpang berhamburan dari kursi tunggu menghampiri kereta, begitu pun si
pembunuh itu. Hanya Porello yang tetap duduk di tempat semula.
“Stop
sampai disitu!” suara Lev memecah keheningan. “Putar kembali dalam mode slow motion mulai dari mereka bertukar
koper!” ia meneruskan.
Tayangan pun di-rewind, diputar kembali dalam slow
motion mulai dari Porello bertukar koper dengan si pembunuh. Dalam tayangan
lambat ini, pengawasan Lev dan orang-orang di ruangan tersebut semakin detail.
Adegan sesaat sebelum si pembunuh itu beranjak dari kursi itu pun mulai. Dari
tayangan normal, ia hanya tampak berlalu begitu saja. Namun pada tayangan
lambat ini terkuaklah apa yang sebenarnya terjadi. Ketika suara speaker bergemuruh, si pembunuh
mengeluarkan sebuah alat suntik berukuran kecil dari dalam lengan jasnya.
Berbarengan dengan kedatangan kereta, ia menyuntikkan alat itu tepat di leher
bagian kiri Porello. Saat itu perhatian seluruh orang tertuju pada kereta.
Waktu yang tepat untuk melumpuhkan korban. Ia berdiri meninggalkan Porello yang
sudah tak bernyawa lagi dalam posisi duduk tersandar, lalu membaur bersama-sama
para penumpang lain menuju kereta, dan menghilang dengan sempurna.
Semua
orang tercengang menyaksikan rekaman kamera CCTV yang baru saja diputar, tak
terkecuali Lev. Kini jelaslah sudah bagaimana cara si pembunuh itu melumpuhkan
mangsanya.
Saat
polisi menyadari Porello terbunuh, kereta yang ditumpangi si pembunuh itu telah
tiba di stasiun pemberhentian kedelapan yang merupakan tempat pemberhentian
terakhir kereta tersebut. Itu artinya ada delapan kemungkinan pembunuh itu berhenti
dimana. Terlalu banyak kemungkinan. Sudah terlambat untuk melacak posisi akhir
si pembunuh setelah aksinya kali itu. Semuanya sudah terlambat. Porello telah
tewas, pembunuh itu telah menghilang dengan sempurna. Tak ada bukti tertinggal
selain jasad Porello yang sudah tak bernyawa lagi, sebuah jarum suntik yang
masih tertancap di leher Porello. Tak ada wajah pelaku dan tak ada saksi.
Hanya
satu yang luput dari perhatian polisi Paris, bungkus cokelat yang sengaja di
tinggalkan pelaku di tempat kejadian.
***
0 komentar:
Post a Comment