Saturday, October 31, 2009

Dua Potongan Kecil - bagian pertama


The Legend
Dunia tercipta bersamaan dengan serangkaian kejadian…
Alam ditunjuk sebagai bentuknya…
Dan atas kehendak-Nya
Takdir memanggil dan menebarkan manusia laksana potongan-potongan kecil untuk melengkapi rangkaian tersebut
Mereka membawa berbagai keanekaragaman untuk tetap saling melengkapi
Lalu Sang Waktu diputar dan mulai menghitung mundur…
Berabad-abad lamanya di hari yang lain…
Sang Penguasa menciptakan kembali sepasang potongan kecil,
Untuk kembali melengkapi rangkaian Dunia
Mereka sama, namun memiliki keanekaragaman berbeda
Kedua potongan kecil itu serupa, tetapi terlahir dari rahim yang berlainan
Mereka adalah satu jiwa yang terpisah ke dalam dua raga
Manusia yang akan menentukan kemana arah rangkaian itu akan berjalan,
Dan manusia juga-lah yang akan membentuk wajah dunia nanti…
Karenanya…
Takdir mengutus kedua potongan tersebut turun ke dunia,
Hingga pada suatu saat mereka akan di pertemukan.
Jika waktu itu telah tiba…
Mereka sendirilah yang akan menentukan siapa yang akan menjadi bagian dari rangkaian tersebut.
Satu dari keduanya akan terpanggil pulang,
Karena hanya ada satu tempat yang akan diisi oleh salah satu dari keduanya.
Dialah yang akan mengisi tempat itu,
Melengkapi rangkaian tersebut,
Agar dunia tetap berputar…
Dan berjalan sampai pada waktu yang telah ditentukan.


Potongan kesatu

Roma, Italia_ 3 Februari 2008, 10.00 am
Hari Minggu pertama di bulan Februari. Musim dingin tak lama lagi akan berakhir di Italia. Roma, salah satu tempat paling bersejarah di dunia. Tepat di ibu kota Italia inilah dinasti kerajaan Romawi pernah berjaya dan mencengkeramkan cakarnya selama beberapa dekade. Kota dengan peradaban tua terbesar ini sangat terkenal di seluruh penjuru. Tak sedikit seniman-seniman besar dan tokoh-tokoh penting terlahir dari kota ini. Sebut saja Leonardo Da Vinci, semua karya-karya besarnya dikenal mendunia. Selain itu, Roma juga mempunyai banyak tempat-tempat penting yang selalu menyedot perhatian publik. Diantaranya; beberapa monument dan tempat bersejarah seperti Vatican, Colloseum, Castello Sant Rome, Pantheon, dan lain-lain. Musium-musium besar seperti Capitoline Museum in Rome, Museo Nazionale Romano, dan sebagainya. Ada juga converence atau event centers seperti Stadio Olimpico Rome dan Flaminio Stadium. Dan masih banyak lagi seperti shopping centers, universitas, attractions, serta tempat-tempat penting lainnya. Semua itu menghiasi Roma seakan melengkapi keindahan kota tersebut.
Dering nada ponsel yang setengah memekak-kan telinga membangunkan Roque yang saat itu masih terlelap dalam tidurnya. Dengan masih berpakaian lengkap, ia terlihat sangat berantakan di atas tempat tidur. Dan memang selalu seperti itu. Jeans dan t-shirt yang membalut tubuhnya, ditambah sepatu kulit yang sepertinya enggan untuk ia lepas. Penampilan Roque saat itu sama berantakan seperti kamarnya. Selain kotor dan pengap, ruangan di apartement tua lantai 21 itu kelihatan tak tertata rapih. Banyak barang-barang yang terletak tidak pada tempatnya. Barisan sarang laba-laba terlihat di beberapa sudut atas kamar. Ditambah dengan cat tembok yang kusam, semua itu seakan ikut melengkapi pesta Halloween di kamar Roque. Dan lebih parahnya lagi, di salah satu sudut kamar, terlihat tempat sampah kecil yang sudah sangat penuh. Sampah-sampah itu akhirnya berserakan di sekitar tempatnya karena sudah tak bisa menampung lagi. Mungkin Roque bukanlah seorang penata ruang yang baik. Tapi bisa dipastikan, siapapun yang menyaksikan pemandangan itu, orang itu akan berkata, “Oh my God!” Lalu setelah shocking terapi tersebut akan muncul sebuah pertanyaan, “sebenarnya apa saja yang dilakukan orang ini setiap harinya?”
Roque beranjak terperanjat dari tidurnya. Mengusap mata, dan menengok kearah jendela di sebelah kanan tempat tidur. Ternyata hari sudah siang. Matahari sudah bersinar terik. Diambilnya sebotol Teaquila yang baru semalam ia beli. Roque membuka jendela, dan sejenak menghela nafas panjang. Udara diluar terasa lebih segar tentunya. Dari jendela kamar ini Roque biasa menikmati pemandangan luar. Ada beberapa keistimewaan dari apartement tua lantai 21 yang sudah dua tahun ia tinggali ini. Selain harga sewa yang murah tentunya, keindahan kota Roma tereksplorasi dengan jelas dari sisi ini. Kesibukan lalu lintas kota Roma, sungai Tevere yang membentang indah, beberapa bangunan bersejarah dan gedung pencakar langit bisa dinikmati dari jendela kamar Roque. Bila semua itu dipadukan dengan mentari pagi khas Italia, secangkir cappuccino dan sepotong pizza, maka siapapun akan terkesan menikmatinya.
Roque membuka pesan yang baru saja masuk di ponselnya. Sebuah pesan tanpa identitas si pengirim, “Leonardo Da Vinci Airport, Baccardi and Corona cigar on the table corner of food court, 02.30 pm

***





Leonardo Da Vinci Airport, Roma, Italia – 02.15 pm
Pesawat baru saja landing beberapa saat lalu. Seperti biasa, setiap harinya bandara udara Leonardo Da Vinci selalu sibuk dengan aktifitas penerbangan. Hampir seluruh jalur penerbangan dari dan menuju Italia di dominasi oleh bandara udara no.1 di kota Roma ini. Hiruk-pikuk para eks penumpang masih terlihat di hall bandara. Sementara itu seorang pria paruh baya dengan mengenakan tuxedo terlihat diantara kerumunan tengah berjalan memisahkan diri kemudian berhenti tepat di depan ruang tunggu penumpang. Pria Amerika ini beberapa kali menoleh pada rolex di lengan kanan-nya kemudian berulang kali menengok-nengok ke sekeliling. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang. Tentu saja orang yang ia kenal yang telah membuat janji dan akan menemuinya. Tak berselang lama, orang yang ia tunggu datang. Seorang pria Italia berbadan tegap, sedikit lebih muda darinya, dan sama-sama mengenakan tuxedo juga. Setelah berjabat tangan dan sedikit tegur sapa, mereka berdua langsung berjalan menuju food court di lantai dasar bandara.
Mereka telah duduk di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Orang Amerika tersebut menuangkan Baccardi yang telah tersaji di atas meja, kemudian memulai pembicaraan
“Baiklah Filippo, siapa eksekutor yang kau percaya kali ini?”
“Santai saja Bill, kali ini kau bisa pegang janjiku” Filippo menjawab sambil menyalakan rokoknya.
“Terlalu banyak orang-orang yang tidak bisa kuperacaya, terlalu banyak orang-orang yang tidak professional
“Tapi yang ini adalah pengecualian”
“Ingat Filippo, dua orangmu yang terdahulu telah gagal dan mengecewakanku”
“Ya, karena itu aku tak ingin mengulangi kesalahanku untuk yang ketiga kalinya”
“Kalau begitu siapa orang yang kau maksud?” Bill mulai penasaran, tapi kali ini ia tak mau kecewa lagi.
“Black Jaguar…” Filippo menuangkan kembali Baccardi ke dalam gelasnya dan gelas Bill, pertanda ia akan mulai serius bercerita. Ia terlihat sangat bersemangat kali ini. “Seorang pria berdarah Mexico. Tubuh atletis, kulit sawo matang, tampan, kumis tipis dan sedikit brewok di pipi. Usia sekitar 27 tahun-an, masih muda dan berambisi. Selain itu ia juga dikenal mempunyai intelegensi tinggi”
“Kelihatannya kau sangat mengetahui orang ini” Bill mulai terkesan dengan orang yang Filippo ceritakan.
“Jujur saja untuk yang satu ini aku sangat tertarik mencari info sebanyak-banyaknya. Menurut berita yang kudengar ia tak pernah tercatat di kesatuan manapun. Tetapi reputasinya sangat hebat. Satu peluru, satu tembakan, dan satu nyawa!”
“Apa maksudmu?” Bill semakin penasaran
“Kabarnya… ia tak pernah gagal dalam menjalankan aksinya”
Belum selesai pembicaraan mereka, orang yang sejak tadi mereka bicarakan sudah berdiri dihadapan mereka berdua. Roque, mengenakan jeans, sweater dan topi hitam. Penampilannya membuat ia terkesan tak serius didepan Bill dan Filippo.
Leonardo Da Vinci Airport, Baccardi and Corona cigar on the table corner of food court, 02.30 pm” Roque berkata sambil melihat arloji di lengan kanannya.
Welcome Black Jaguar!... kau datang tepat waktu. The professional one!” Filippo menyapa Roque. Bill pun ikut beranjak dari tempat duduknya, menyambut Roque dengan antusias
“Panggil saja aku Roque. Aku tak suka dengan julukan itu! Lagipula aku masih tak habis pikir siapa orang yang pertama kali memberiku julukan itu!” Roque berkata tanpa menatap lawan bicaranya
“Silahkan Roque” Filippo mempersilahkan Roque duduk. “Sebelumnya perkenalkan, saya Filippo, orang yang mengirim pesan tersebut. Dan ini Bill, partner bisnis saya. ia baru saja tiba dari Washington
“Langsung saja” Roque berkata dengan angkuh dan masih tak menatap mereka berdua
“Masalah hutang-piutang”, Bill meneguk minuman yang ia pegang, kemudian melanjutkan berbicara, “Aku terlilit hutang dengan salah satu partner bisnisku di Amerika. Namanya George, ia adalah salah satu pengusaha terkaya di Amerika, bahkan Eropa dan dunia. Perusahaannya tersebar dimana-mana, dan sekarang ia sedang membentangkan sayap-sayap bisnisnya di kawasan Asia-Afrika”
“Lalu?” Roque bertanya kepada Bill, menyalakan Marlboro dan menuangkan Baccardi ke dalam gelasnya.
“Masa pelunasan hutangku sudah berakhir sebulan yang lalu dan sampai saat ini aku belum bisa membayarnya”
“Itu karena kau tak berniat melunasinya” Roque berkata dengan wajah dingin dan sinis.
“Hahahaha… instinc-mu luar biasa!”
Sebenarnya Bill tersinggung dengan sindiran Roque, tapi ia hanya bisa terkagum dengan orang yang ia hadapi kali ini.
“Kalau aku membayar hutangku pada George, itu sama artinya dengan memberikan daging segar pada seekor singa serakah yang sedang kelaparan. Nanti jika sudah merasa lapar lagi, ia pasti akan melahap mangsa-mangsa berikutnya”, Bill melanjutkan perkataannya
Filippo akhirnya mulai angkat biacara, “Bill dan George memiliki saham dibeberapa perusahaan yang sama. Kalau saja George bisa disingkirkan, maka seluruh saham tersebut akan menjadi milik Bill. Tidak hanya hutangnya yang lunas, kekayaan Bill pun akan bertambah”
“Kalian berdua sama serakahnya” lagi-lagi Roque berbicara dengan sinis, “Kalau begitu berapa mahal harga yang akan kau bayar untuk sebutir timah panasku?”
“Dua ribu lima ratus dolar, setengah dimuka, sisanya akan masuk rekeningmu setelah berita keberhasilanmu termuat di headline Times. Bagaimana?” Bill mengajukan penawaran
“Baiklah, mana deskripsinya? Aku tak punya banyak waktu untuk melatih singa-singa sirkus disini”
Sejenak Bill dan Filippo saling bertatapan. Mereka berdua terlihat agak kesal dengan sikap angkuh Roque sejak tadi. Tapi biar bagaimanapun, mereka sangat membutuhkan jasa Roque saat itu
“Foto, data dan semua yang kau butuhkan ada di dalam amplop ini” Filippo membuka tas dan menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat kepada Roque
“Aku ingin kau menyelesaikannya dengan baik” Bill berpesan pada Roque
“Aku tak pernah gagal mendaratkan peluruku dimanapun tempat yang kuinginkan” setelah itu Roque berlalu begitu saja meninggalkan mereka berdua tanpa menguacapkan sepatah katapun.
***
Roque berpacu melintasi jalanan kota Roma diatas Blazer hitamnya. Dibukanya amplop yang baru saja ia terima. Sejenak ia tampak serius mengamati isi dalam amplop itu, lalu tak lama kemudian senyum kecil terlintas di bibirnya.
Saat ini Roque tengah memasuki Via Delle Fornacci, ia menuju suatu tempat dimana ia sering menghabiskan waktunya disana. Gianni Vallota café. Hampir setiap hari Roque datang ke tempat itu hanya untuk sekedar bermalas-malasan sambil menikmati beberapa cake kesukaannya. Tak banyak orang yang ia kenal di Roma, bahkan ia hanya memiliki satu-satunya teman dekat di Italia, Andrea. Seorang wanita cantik berkebangsaan Italia ini merupakan satu-satunya orang yang benar-benar tahu siapa Roque sebenarnya. Dan salah satu alasan mengapa Roque sering datang ke tempat itu karena Andrea adalah wanita yang bekerja sebagai pelayan di tempat tersebut.
Banyak hal yang Roque sukai dari tempat ini. Selain faktor Andrea tentu saja, Roque sangat menyukai hal yang bernuansa alami, dan di café yang mengusung tema natural ini, ia dapat menikmati menu-menu kesukaannya dalam suasana seperti di alam terbuka. Seluruh ruangan menghadirkan konsep indoor garden layaknya pameran peragaan tanaman. Belum lagi beberapa dekorasi bertema alam terdapat di setiap sudut ruangan. Dan kemana saja kau berjalan di dalam café tersebut, maka kau akan selalu menemukan lukisan-lukisan indah di setiap sisi dinding. Sebuah seni maha agung yang terbungkus oleh alam. Itulah atmosfir yang selalu menarik Roque untuk selalu kembali ketempat ini, dan sekali lagi- itu selain faktor Andrea.
Setelah memarkirkan mobil, Roque langsung masuk dan duduk di tempat favoritnya. Andrea melihat kedatangan Roque dan langsung menghampirinya dengan membawakan daftar menu.
“Siang Roque, The Black Jaguar! Tidak seperti biasanya kali ini kau datang terlambat” Andrea menyapa Roque
“Jangan menyebut nama itu keras-keras!” Roque memperingatkan Andrea dengan suara pelan
“Ups… maaf, aku terlalu bersemangat. Kau pasti takut ada yang mengenal nama itu dan mendengarnya”
“Huhh… sudah berulang kali kukatakan, aku tidak suka dengan nama itu. Lagipula aku masih tak habis pikir siapa orang yang pertama kali menjulukiku dengan nama itu!” Roque menyalakan Marlboro-nya
“Aku” Andrea sedikit tersenyum
“Apa?!” Roque terkejut menatap Andrea
“Ya, aku orang yang pertama kali menjulukimu dengan nama itu. Masih tak suka?” Andrea balas manatap Roque
“Dasar wanita aneh!” Roque bergumam dengan wajah keheranan
“Apanya yang aneh?”
“Cepat bawakan aku makanan seperti biasa, tapi kali ini aku minum soft drink saja” Roque mengacuhkan pertanyaan Andrea.
Andrea segera mengambil pesanan Roque dan tak lama kemudian ia kembali ke meja Roque membawakan pesanannya. “Menurutku itu nama yang bagus” Andrea melanjutkan kembali pembicaraan mereka yang sempat terputus tadi
“Aku pikir wanita seharusnya lebih menyukai hewan yang lucu, seperti kucing misalnya. Bukan hewan menyeramkan seperti itu!” Roque berbicara sambil menikmati hidangan yang baru saja datang
“Siapa yang mengharuskan? Aku tak berfikir ia menyeramkan! Justru menurutku ia adalah hewan yang gagah! Aku terkesan karena ia kuat dan tangguh. Lagipula, ia juga lucu kok!. Buktinya aku bisa berteman baik dengannya! Dan yang terpenting, black jaguar adalah sosok yang misterius, sangat cocok untuk menggambarkan dirimu” Andrea tersenyum pada Roque.
“Jadi kau pikir aku ini pria misterius?!” Roque menyalakan Marlboro lagi
“Bagi sebagian orang yang tidak mengenalmu dan hanya menggunakan keahlianmu untuk kepentingan mereka, mungkin iya. Tapi bagiku, kau adalah pria yang…”
“Barusan aku dapat job lagi” Roque memotong pembicaraan. Ia berusaha menutupi perasaannya. Tapi Andrea adalah orang yang sangat mengenal roque, ia tahu betul apa yang sedang dilakukan Roque. Andrea hanya tersenyum
“Untuk siapa lagi? Orang-orang Federal itu?”
“Bukan”
“CIA?”
“Bukan juga. Aku tidak ingin berurusan dengan orang-orang itu lagi”
“Atau senator Amerika itu?”
“Bukan. Memangnya kau pikir ia punya berapa banyak musuh sehingga harus sering berhubungan denganku?”
“Lalu?” Andrea mulai terlihat penasaran
“Seorang pengusaha dari Amerika. Tawarannya lumayan bagus jadi harus kuambil”
“Kurasa sebentar lagi kau sudah mendapatkan yang kau inginkan”
“Ya, hanya tinggal beberapa langkah lagi. Ini salah satunya” setelah itu Roque terdiam, sesaat ia memandang ke jendela di sebelah kanan tempat duduknya. Ia melihat orang-orang yang sedang berlalu-lalang diluar sana. “Aku ingin seperti mereka, bisa menikmati hidup dengan tenang dan damai. Aku sudah bosan menjadi malaikat pencabut nyawa” ia merundukkan kepalanya dan menghela nafas panjang.
“Kau punya alasan kuat untuk semua itu Roque” Andrea menatap Roque dengan tajam, memegang erat pundaknya, dan tersenyum padanya
“Ya, semoga saja begitu. Aku ingin segera mengakhiri pekerjaan kotor ini dan pergi meninggalkan Italia menuju surgaku di Mexico
Ada pembeli datang, aku melayaninya dulu ya” Andrea melihat seorang pengunjung datang dan langsung beranjak dari hadapan Roque
“Hei, kalau begitu jika kau pulang ke Mexico nanti aku ikut ya?” Andrea berkata pada Roque dengan setengah berteriak dari counter tempatnya berdiri
“Tadinya aku akan memaksamu kalau kau tak mau ikut” Roque menjawab dengan hal yang sama. Andrea hanya tersenyum pada Roque
Setelah itu pembicaraan mereka berlanjut, hingga tak terasa hari sudah mulai petang. Roque kembali ke apartementnya.
***
Setelah melewati 21 lantai, kini Roque telah berada di kamarnya. Ia melepas topi dan sweater lalu melemparkannya begitu saja ke atas tempat tidur. Ia berjalan menuju lemari es, membukanya dan mengambil sebotol Carlsberg diantara beberapa botol minuman yang ada di dalam lemari es tersebut. Roque membuka botol bir tersebut dengan giginya, setelah itu ia membuka jendela lalu duduk di kursi yang terletak disamping jendela tersebut. Sambil menenggak bir, ia mengeluarkan ponsel dari saku jeans kemudian menghubungi seseorang. Selagi menunggu panggilannya dijawab, Roque menyalakan Marlboro-nya yang tinggal tersisa sebatang, lalu melemparkan bungkus rokok yang sudah kosong itu ke tempat sampah. Tentu saja bungkus rokok tersebut tak masuk ke dalam tempat sampah itu tetapi malah tergeletak disampingnya.
Panggilan telepon Roque tidak kunjung diangkat juga, ia menutup kembali ponsel itu dan meletakkannya diatas meja. Roque berdiri dan berjalan kearah jendela. Beberapa saat ia berdiri di sana melihat-lihat pemandangan di sekeliling. Sesaat kemudian ponsel diatas meja berdering. Ia buru-buru meraihnya, berganti meletakan botol Carlsberg di meja.
“Halo, Roque the black jaguar! Lama tak jumpa Kawan” suara orang tersebut samar-samar terdengar di ponsel Roque.
“Ya, beberapa bulan terakhir ini aku tak ada pekerjaan”
“Hahaha… sudah lama aku menunggu kabar darimu”
“Kalau bukan karena pekerjaan, aku tak sudi berhubungan dengan orang seperti kau” Roque menghirup dalam-dalam rokok terakhirnya lalu mematikan rokok tersebut kedalam asbak
“Hahahaha… kau tak pernah berubah! Selalu saja begitu. Tapi tak apa, aku selalu kagum padamu. Kalau bukan karenamu, rasanya sangat sulit untuk mendaratkan peluruku ditempat orang-orang penting, orang-orang kaya yang terkenal dan bedebah itu! Hahaha… aku selalu bangga padamu Roque!”
“Sampai kapan kau terus menggonggong seperti itu?!” Roque berkata dengan suara dan wajah dingin
“OK, OK… baiklah kawan, kita langsung pada pokok pembiacaraan, apa yang kau butuhkan?” orang tersebut cukup mengenal karakter Roque yang tak suka berbasa-basi dan sulit diterka selera humornya
55gr Lapua Scenar, kita bertemu di tempat biasa pukul 11.00 malam ini. Datanglah sendirian” Roque langsung menutup ponselnya. Ia mengambil botol bir tadi lalu kembali ke jendela. Tak berselang lama, ponsel Roque berdering kembali. Ia menghabiskan minuman yang sedang ia pegang terlebih dahulu kemudian mengangkat ponselnya
“Bagaimana Roque, kau sudah berhasil menghubunginya?” ternyata orang yang menelepon Roque kali ini adalah Andrea
“Ya, semuanya sudah beres”
“Kapan kau mendapatkan barangnya?”
“Nanti malam aku akan bertransaksi dengannya”
“Sementara ini cuma dia satu-satunya orang yang bisa kita hubungi. Aku kesulitan mencari orang lain. Mereka menghilang entah kemana, bahkan menurut informasi yang kuterima, beberapa dari mereka telah tertangkap”
“Ya, aku sudah mengetahui hal itu. Akhir-akhir ini polisi Italia tengah memperketat keamanan mereka. Akibatnya para penyelundup sialan itu jadi kerepotan”
“Setelah ini aku akan mencarikanmu agen senjata api yang lain. Alinsky terlalu berbahaya buat kita. Orang Rusia terlalu mencolok dimata polisi Italia”
“Maaf telah melibatkanmu terlalu jauh”
“Hei-hei-hei… sudahlah… jangan pernah mencoba menjadi anjing hutan, macan tetaplah macan! Buona fortuna, Roque! (semoga berhasil)” Andrea menutup telepon seiring senyum yang keluar dari bibir Roque
Fluid, Via del Governo Vecchio, Roma- Italia. 11.00 pm
Disinilah tempat yang dimaksud dalam pertemuan Roque dan Alinsky. Sebuah wine bar bergaya modern. Bar yang mengusung tema liquid ini menjadi salah satu tempat favorit Roque dalam bertransaksi dengan para client-nya. Roque masuk kedalam dan langsung menuju bar-stand untuk memesan cocktail.
Ia berdiri dan memandang sekeliling. Seperti biasa, suasana di dalam bar ini selalu menyenangkan untuk dinikmati. Beberapa tempat duduk terletak diatas bongkahan es yang diselimuti plastik. Ribuan batu putih yang menempel di jaring ikut menghiasi bar ini, dinding serta atap ruangan di-design sedemikian rupa untuk memberikan kesan suasana seperti di dalam air. Belum lagi pada dinding belakang terpasang sebuah layar video berukuran sangat besar yang menampilkan gambar simulasi air terjun yang sangat indah.
Roque tak menunggu lama, ia melihat Alinsky bersama seorang wanita di pintu utama sedang berjalan ke arahnya.
“Hai kawan, sudah lama menunggu?” Alinsky tersenyum lebar menyapa Roque sambil mengulurkan tangan. Ia mengajak berjabat tangan, tapi Roque hanya mengacuhkannya sambil menyalakan Marlboro. Alinsky berhenti tersenyum dan menarik kembali tangannya. Ia memberi isyarat pada wanita yang datang bersamanya itu untuk segera mencari tempat lain dan menjauh dari mereka berdua.
“Sudah kukatakan, datanglah sendiri…” Roque masih tak menatapnya.
“Ayolah kawan… kau kan tahu, aku tidak bisa keluar malam tanpa ditemani wanita” Alinsky kembali tersenyum. Kali ini ia memohon pada Roque. Alinsky terlihat seperti orang yang licik, itulah sebabnya Roque sangat berhati-hati berurusan dengan orang seperti dia.
“Mana barangnya?”
“Ok-ok, untukmu pasti selalu kubawakan” Alinsky mengeluarkan sebuah bungkusan berwarna hitam dari balik jacket-nya.
Roque memeriksa isinya lalu menukarkan bungkusan tersebut dengan sebuah amplop berisi uang.
“Ingat, macan selalu keluar dari sarangnya sendirian, anjing hutan hanya berani meninggalkan sarangnya dengan bergerombol!” Roque mematikan rokok tepat dihadapan wajah Alinsky kemudian berlalu meninggalkanya begitu saja. Alinsky hanya terdiam melihat kepergian Roque tanpa berkata apa-apa.
***
3 hari kemudian_
Via Sant’ Eligio, Roma- Italia. 08.30 am
Tidak seperti biasanya, kali ini Roque telah berpakaian rapih dan duduk di kamarnya. Ia sedang membaca beberapa berkas yang baru saja di keluarkan dari dalam map di atas meja. Ia mempelajari dengan seksama setiap informasi di dalam berkas yang merupakan data-data lengkap tentang tempat yang akan ia tuju tersebut. Secangkir capuccino dan gelato menemani Roque sebagai menu sarapan paginya. Dan tak ketinggalan, rokok Marlboro selalu ada di dekatnya. Setelah selesai membaca, ia menutup kembali amplop itu dengan rapih lalu memasukannya ke dalam tas ransel yang sudah sejak tadi ia persiapkan. Roque menghabiskan sarapan paginya itu, lalu seperti biasa, menyalakan Marlboro dan berjalan ke jendela. Roque mengambil sebuah binocular dari dalam ransel, lalu dengan asyiknya ia menikmati pemandangan sekitar melalui lensa Nikon 36mm Monarch ATB-nya itu.
Setelah selesai dengan binocular-nya, Roque menuju sebuah lemari besi yang terletak di salah satu sudut kamar. Lemari berukuran besar itu ia buka dengan sebuah kunci dan kode rahasia. Inilah letak rahasia besar dari seorang Roque, the black jaguar! Ternyata lemari tersebut dipenuhi oleh berbagai jenis sniper rifles. Mulai dari standard caliber rifle hingga large caliber rifle ada di dalam lemari itu. Semua senjata penembak jitu yang berasal dari berbagai negara itu menjadi koleksi Roque dalam beberapa tahun terakhir. Senjata-senjata itu menjadi point penting Roque dalam setiap misinya. Ketika ia berubah menjadi sniper, Roque tumbuh menjadi seorang maniak senjata, dan ia pun berusaha mengumpulkan berbagai jenis senjata canggih tersebut sebagai bagian dari kesenangannya. Sesuai dengan reputasi yang ia sandang, setiap senjata tersebut telah memakan korban! Hingga saat ini, tak ada satupun yang meleset, dan tak seorangpun yang lolos dari bidikan Roque.
Roque memilih satu diantara banyak senjata kesayanganya yang akan dipakai dalam misi kali ini. Setelah beberapa saat, akhirnya ia menentukan senjata mana yang akan di bawa. Diambilnya HK MSG-90 dari dalam lemari dan sebuah kain khusus yang sudah tersedia, lalu ia mengelap dan membersihkan senjata keluaran Jerman tersebut dengan sangat hati-hati. Setelah selesai membersihkannya, ia melepaskan rangkaian senjata tersebut satu persatu menjadi bagian-bagian kecil kemudian meletakannya ke dalam sebuah carrying case. Sekarang tinggal tahap akhir persiapan, beberapa peralatan penting mulai ia siapkan. Silencer, binocular, Monarch gold laser 1200 range finder, ballistic data, sebutir peluru 55gr Lapua Scenar, Omega muzzleloading rifle scope dan fieldscope 50mm ED semuanya kini telah siap.
Sesaat sebelum keberangkatannya, Roque meninggalkan pesan singkat di ponsel Andrea. Lalu ia berangkat menuju bandara untuk terbang menuju Turki.
Istambul, Turki. Beberapa jam kemudian_
Sekarang Roque telah berada di Turki. Ia memesan kamar di sebuah hotel kecil tak jauh dari bandara. Setelah masuk ke dalam kamar ia merebahkan badan di atas tempat tidur. Saat ini pukul 04.00 pm. Waktu yang telah ditentukan untuk menjalankan misinya adalah pukul 07.30 petang nanti. Masih ada beberapa jam untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Tujuan utama seorang sniper ialah menembak target yang menjadi sasaran pada jarak tertentu dengan jumlah tembakan atau peluru yang dilepaskan se-minimal mungkin. Bagi Roque ini berarti ‘satu tembakan atau satu peluru’. Oleh karena itu seorang sniper harus memiliki persiapan matang dan perhitungan yang akurat sebelum bergerak melakukan aksi sniping. Hal itulah yang akan menentukan keberhasilan bagi seorang sniper dalam menjalankan misinya. Beberapa hal yang memerlukan persiapan dan perhitungan akurat diantaranya; jarak tempuh peluru yang akan dilepaskan; environtmental condition seperti cuaca, arah dan kecepatan angin, dan sebagainya; keadaan sekitar, termasuk kemungkinan perubahan rencana selalu Roque perhatikan setiap kali ia beraksi.
Tak lama setelah itu, Roque beranjak dari tempat tidur, ia bergegas menuju tempat dimana ia akan meng-eksekusi targetnya. Setelah beberapa menit berkendara taksi, ia tiba di tempat yang di maksud. Roque keluar dari taksi kemudian berjalan menuju sebuah gang sempit di seberang jalan utama. Ia berjalan cepat menyusuri gang tersebut. Suasana disini sangat berbeda dengan Roma. Di Istambul, hampir semua pemukiman letaknya berhimpit-himpitan. Kau akan banyak menjumpai gang-gang sempit yang diapit oleh rumah-rumah yang bangunannya rata-rata tersusun bertingkat.
Kini Roque telah tiba diujung jalan. Didapatinya sebuah area luas dikelilingi beberapa bangunan yang sepertinya adalah kantor-kantor kecil. Tepat ditengah deretan bangunan kecil itu terdapat sebuah bangunan besar dan bertingkat. Jika melihat dari tingginya, Roque dapat langsung menerka bangunan itu terdiri dari sekitar 10 lantai, dan sepertinya inilah central perusahaan tersebut. Di depan gedung bertingkat tadi terdapat sebuah podium lengkap dengan kursi-kursi tamu yang telah tersusun rapi. Disekitarnya terlihat beberapa orang sedang sibuk menata panggung dan peralatan pendukung, dan beberapa orang yang lain sedang meletakkan sejumlah karangan bunga. Roque dapat langsung memastikan, tidak salah lagi pasti disinilah George akan memberikan pidato sambutan dalam acara opening ceremony perusahaan barunya.
Roque berfikir cepat, ia mencermati setiap sudut di wilayah tersebut. Tempat itu merupakan area terbuka, suatu keadaan yang bagus untuk melancarkan serangan. Kini tinggal mencari sudut yang paling ideal untuk membidik targetnya. Hal ini merupakan keahliannya. Ia melihat sekeliling dengan menggunakan monocular untuk mempersempit jarak pandang dan melihat tempat yang sulit terlihat jelas dengan mata telanjang. Di sebelah utara area tersebut terdapat sebuah bangunan kosong yang sedang dalam tahap renovasi. Tingginya sekitar 100 kaki, jarak pandang optimal, dan yang terpenting, dari tempat itu ia dapat langsung melihat kearah area ini tanpa terhalang oleh apapun.
Setelah itu Roque langsung bergegas dari tempatnya berdiri dengan segera menuju post yang sudah ditentukan. Ia berusaha sebisa mungkin menghindar dari perhatian orang-orang tadi. Bagaimanapun juga Roque adalah orang asing dan tak mempunyai kepentingan apapun disitu, akan mencurigakan apabila ia terlihat oleh mereka.
Gedung yang dimaksud Roque memang kosong dan kelihatannya belum terpakai. Di dalamnya Roque mendapati beberapa bagian ruangan tampak berantakan dan hampir seluruh jendela di gedung tersebut belum terpasang kaca. Ini memudahkan Roque untuk mengarahkan moncong senjatanya langsung kearah sasaran. Kini Roque berada di ketinggian 100 kaki. Jarak antara dirinya menuju sasaran tembak sekitar 150 yard, suatu jarak yang ideal untuk senjata sekelas HK MSG-90.
Roque memilih ruangan yang sejajar dengan area target. Ia menuju suatu jendela, melongok keluar, kemudian meletakkan ransel disamping kakinya. Pandangan matanya lurus kedepan, memastikan tempat ia berdiri dapat langsung mengarah pada sasaran. Setelah itu ia membuka ransel, mengambil binocular dan menggunakan alat itu untuk memfokuskan pandangannya pada tempat yang di maksud.
Tempat ini telah dirasa sesuai, kini tinggal persiapan akhir, merakit dan mengatur posisi senapan. Roque kembali meraih ranselnya, mengeluarkan carriying case dari dalam tas, lalu membuka wadah berbentuk kotak tersebut. Bagi Roque dan mungkin juga sebagian sniper, merakit senjata adalah bagian penting dari sebuah aksi sniping. Ada suatu nilai kesenangan dan kepuasan tersendiri ketika seorang sniper sedang merakit senjatanya. Terlebih bagi Roque hal-hal seperti ini sudah sangat menyatu dalam dirinya. Ketika menyaksikan Roque sedang merakit senjatanya, kita bagaikan tengah menyaksikan seorang seniman perang yang sedang memainkan sebuah drama diatas panggung yang megah dengan indahnya.
Setelah selesai merakit HK MSG-90-nya, Roque duduk bertengger di jendela. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jeans kemudian membukanya. Ada beberapa pesan masuk, tapi Roque hanya mengacuhkan pesan-pesan tersebut lalu menutup dan memasukkan ponsel itu ke dalam saku jeans-nya kembali. Roque melihat area tersebut telah ramai oleh tamu-tamu yang mulai berdatangan. Ia berulang kali melihat arlojinya. Waktu di arloji Roque menunjukkan pukul 06.45 pm. Itu artinya ia masih hanya punya waktu tak sampai satu jam untuk menyelesaikan misinya.
Roque mengeluarkan sebuah flask dari kantong di balik jacket. Di bukanya botol minuman berisi cognac tersebut sambil terus mengawasi area tergetnya dengan menggunakan binocular yang sejak tadi selalu ia genggam. Suasana disana semakin ramai. Menurut petunjuk yang ia terima, waktu pelaksanaan eksekusi hanya tinggal beberapa menit saja. Tetapi Roque justru malah terlihat semakin tenang. Tak nampak sedikitpun ketegangan di wajahnya. Ia malah terlihat asyik bercumbu dengan cognac-nya itu sambil duduk bertengger di jendela dan mengangkat satu kakinya ke atas.
Tiba-tiba suara sirine yang saling bersautan samar-samar terdengar oleh Roque. Suara yang berasal dari kejauhan itu semakin jelas dan mengarah pada lokasi yang sedang ia awasi. Roque segera menutup dan menyimpan kembali flask-nya ke dalam saku di balik jacket. Ia langsung memakai binocular-nya, dan benar saja, tampaknya acara sudah akan segera dimulai. Roque dapat melihat iring-iringan mobil mewah sedang masuk ke area tersebut dengan dikawal oleh petugas keamanan setempat.
Roque segera meraih tas ransel dan mengambil sebuah foto dari dalam map. Ia mengamati foto itu untuk beberapa detik, lalu kembali mengawasi area tersebut dengan binocular-nya. Beberapa kali ia melihat foto itu lagi lalu kembali pada binocular-nya. Kelihatannya Roque tengah mencari orang yang menjadi targetnya, George.
Konvoi panjang itu berakhir di halaman parkir yang terletak tak jauh di seberang podium. Di barisan tengah, terlihat sebuah sedan Limousin mewah berwarna putih. Tak lama setelah semua mobil-mobil itu berhenti, semua orang yang berada di dalamnya keluar. Pandangan Roque masih tertuju pada limousin tadi. Instinc-nya selalu benar! Pintu belakang mobil itu segera terbuka, dan orang yang keluar dari sana ternyata adalah George, seorang pria paruh baya berbadan gemuk. Ia berjalan menuju podium sambil melambai-lambaikan tangan pada audience yang telah sejak tadi menunggu kedatangannya.
Binggo!’ Roque berbisik lirih. Target sudah terlihat, semua berjalan lancar sesuai rencana. Sejumlah reporter dan wartawan tampak memburu foto dan mewawancarai George. Petugas keamanan dan para bodyguard berbadan ekstra besar terlihat di beberapa titik pada lokasi tersebut. Beberapa diantaranya langsung mengamankan George, membukakan jalan untuknya menerobos kerumunan. Roque tersenyum sinis. Ia berfikir baginya mereka tak bisa berbuat banyak karena bahaya yang dihadapi oleh boss mereka adalah seorang sniper seperti dirinya.
Roque menyalakan Marlboro-nya. Menenggak lagi cognac di dalam flask-nya. Ia mengeluarkan sebutir peluru Lapua Scenar dari dalam tas, lalu memasukkannya ke dalam magazine latch. Setelah memastikan peluru tersebut sudah pada bolt lock, ia menuju scope mount dan mulai membidik sasaran. Sasaran terlihat dengan jelas dengan scope-nya. Roque segera meraih range finder, dan mulai mengukur jarak pasti menuju sasaran dengan menggunakan alat tersebut. Setelah itu, ia memeriksa kondisi cuaca sekitar, mengukur suhu, arah dan kecepatan angin. Setelah semua itu diketahui dengan pasti, ia langsung menyesuaikan sudut dan titik bidikan dengan MOA.
Roque menghirup dalam-dalam rokok yang sedang dihisapnya. Ia lalu memasang silencer pada ujung barrel. Mata Roque masih bersiap sedia pada scope. Ia tak pernah mengalihkan pandangan-nya dari George yang saat itu tengah dikerumuni orang banyak. Jari telunjuk kanannya sudah siap pada trigger. Tangan kirinya ada pada barrel, dan sesekali meraih batang Marlboro yang sejak tadi selalu terjepit di bibir Roque. George terlihat menaiki tangga podium dan berdiri tepat di tengah mimbar. Tak sedetikpun Roque berkedip, dan tak sesaatpun ia mengalihkan perhatian dari sasarannya. Suasana mendadak jadi hening…
Dan tiba-tiba….
‘SHHHOUUTT!!!’ …………………………… ‘SHCLEB!!’
George tersungkur jatuh dengan kepala berlumuran darah. Peluru itu tepat menembus jidatnya. Semua orang di tempat tersebut panik dan berhamburan. Petugas keamanan berdatangan melihat keadaan George yang tergeletak di bawah, tetapi semua itu sudah terlambat.
Roque langsung bergegas melepaskan rangkaian senjatanya, membereskan barang-barang bawaannya, lalu pergi secepat mungkin menjauh dari tempat itu.
***

0 komentar:

Post a Comment